10 Hal Yang Bisa Menentukan Masa Depan Bisnis Retail

Siap atau tidak, retail di Indonesia bakal menghadapi persaingan yang demikian sengit. Apalagi dengan semakin maraknya retail-retail asing di Indonesia yang punya kekuatan merek dan fulus yang “tak terbatas”. Oleh karenanya retail di Indonesia perlu mewaspadai atau memahami berbagai tren yang akan terjadi pada dunia retail di masa depan. Berikut adalah 10 hal yang bisa menentukan masa depan bisnis retaill.
  1. Promosi harga sudah seharusnya
    Setiap retail, baik retail kecil maupun besar ataupun retail untuk segmen bawah atau premium. Semuanya tak akan lepas dari promosi harga. Strategi ini seolah sudah menjadi strategi generik. Sama halnya dengan obat yang menawarkan kemanjuran strategi ini tidak bisa dijadikan strategi yang unik. Namun demikian strategi ini juga tidak bisa ditinggalkan. Kini pilihannya adalah kapan program promosi harga ini dilakukan dan kreativitas apa yang bisa dikembangkan. Beberapa peretail merek premium berkreasi dengan menawarkan program diskon besar-besaran pada malam hari. Program midnight sale ini ternyata disambut antusias dan seolah mulai menjadi wabah di ibu kota.
    Kreativitas dalam promosi harga juga tidak selalu dalam bentuk diskon. Promosi harga bisa juga dilakukan dalam bentuk cash back atau buy one get two. Namun apapun kreativitas yang dilakukan, peretail di masa depan tak akan bisa meninggalkan program promosi harga begitu saja.
  2. Menjual experience lebih penting
    Produk yang dijual memang menjadi daya tarik bagi konsumen untuk datang ke retail. Namun demikian, jangan terpaku pada produk tanpa menghadirkan pengalaman yang unik bagi konsumen. Yang lebih menjadi daya tarik bagi konsumen untuk datang ke Bread Talk atau Jco bukanlah roti abon atau donat rasa almond, tetapi pengalaman terhadap merek itu sendiri. Berdasarkan riset dari Nielsen, 93 persen dari konsumen Indonesia menjadikan retail sebagai tempat rekreasi. Mereka akan semakin banyak berbelanja jika terpuaskan oleh pengalaman yang diciptakan oleh peretail. Experience ini bisa dikembangkan melalui banyak dimensi seperti permainan dengan panca indera (tampilan, bunyi, bau, dll), maupun melalui interaksi dengan konsumen. Itulah sebabnya, menjual pengalaman akan menjadi hal yang lebih dicari oleh konsumen ketimbang produk yang dijual.
  3. Berlarilah dengan teknologi
    Teknologi akan berperan besar bagi retail di masa depan. Sekalipun konsumen menganggap pergi ke retail sebagai rekreasi, mereka tetap saja merupakan konsumen yang tidak sabaran. Di zaman serba cepat ini, mereka membutuhkan pelayanan yang cepat dari sebuah retail. Ada tiga macam teknologi yang akan mempengaruhi kekuatan retail masa depan. Pertama adalah teknologi di bidang inventori, dimana peretail membutuhkan teknologi yang bisa dengan cepat mengidentifikasikan inventori dan memberi sinyal dengan cepat jika terjadi kekosongan barang. Kedua adalah teknologi di bidang transaksi. retail masa depan membutuhkan teknologi yang bisa membuat transaksi selesai dalam waktu lebih cepat serta tidak menciptakan antrian yang panjang. Ketiga adalah teknologi yang bisa membantu menciptakan retensi dan hubungan dengan pelanggan. Misalnya untuk menginformasikan point reward atau produk-produk baru melalui ponsel.
    Teknologi seperti RFID (Radio Frequency Identification) atau LBS (Location Based Service) tampaknya akan bermunculan di masa mendatang karena teknologi semacam inilah yang bisa membantu peretail memberi pelayanan yang cepat dan tepat.
  4. Mengikat konsumen dengan program loyalty
    Di masa depan peretail harus punya program loyalty yang unik dan experiential bagi konsumen. Semakin banyaknya pilihan retail membuat konsumen tidak bisa loyal kepada satu retail. Lihat saja hasil survei di AS yang menunjukkan bahwa cuma 15 persen konsumen yang selalu datang ke retail yang sama. Oleh karena itulah peretail harus memiliki program loyalty yang kuat untuk mengikat mereka. Program loyalty dilakukan bukan dengan kartu anggota atau kartu diskon semata. Program loyalty harus disusun berdasarkan kebutuhan konsumen yang unik. Oleh karena itu pengumpulan dan penggalian database akan semakin penting bagi peretail. Database yang baik akan menjadi kekuatan menyusun program loyalty.
  5. Co-branding dengan semakin banyak pihak
    Untuk menciptakan program loyalty secara terus-menerus, peretail mau tidak mau harus melakukan co-branding dengan banyak pihak. Co-branding bisa dilakukan dengan sesama partner di dalam industri maupun partner di industri lain. Tujuannya adalah untuk memperkuat dampak promosi yang dilakukan dan mengefisiensikan program-program promosi. Selain itu, co-branding juga membuat kreativitas retail tidak terpaku pada program-program yang konvensional. Indomaret berkerjasama dengan Mandiri mengeluarkan kartu yang bukan hanya menjadi kartu isi ulang tetapi juga bisa dipergunakan untuk membayar listrik dan telepon di toko-toko Indomaret. Artinya Indomaret kini bukan sekadar menjual produk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga point of payment untuk berbagai pembayaran rutin.
  6. Fokus kepada individu dan interaktif
    Di masa depan, konsumen ingin dilihat sebagai individu dan bukan sebagai orang yang sama dengan yang lain. Mereka mengharapkan retail memberikan banyak fleksibilitas bagi konsumen untuk menentukan apa yang mereka mau. Oleh karena itu peretail harus mempersiapkan topping dan fitur yang banyak untuk dipilih oleh konsumen. Seperti halnya eskrim, produknya boleh sama, tetapi konsumen bisa menaruh bermacam-macam tambahan di atas eskrim tersebut. Kalau perlu, konsumen akan terjun langsung ke pembuatannya sehingga mereka lebih bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan.
  7. Totalitas dalam pelayanan akan menjadi tuntutan konsumen
    Konsumen Indonesia akan semakin melihat pelayanan prima sebagai sebuah keharusan di dunia retail. Menurut survei yang dilakukan oleh Accenture di beberapa negara, ternyata keputusan pembelian nomor satu dipengaruhi oleh pelayanan. Di Indonesia sendiri kesadaran retail di bidang pelayanan sebenarnya sudah bertumbuh, namun demikian komitmen pelayanan ini masih terbatas pada keramahan saja. Padahal totalitas dalam pelayanan mencakup banyak aspek, mulai dari konsumen masuk sampai ke layanan purna jual.
  8. Fast fashion
    Peretail akan menghadapi rentang waktu yang semakin pendek dari sebuah produk untuk menjadi fashion product. Ibaratnya, kalau hari ini konsumen berebut membeli produk yang lagi “in”, maka besok, konsumen berharap produk yang lagi in tersebut sudah berubah. Dengan perubahan yang cepat, peretail harus selalu fleksibel untuk menyediakan item-item baru dalam waktu yang relatif singkat. retail seperti Chico di Inggris selalu menawarkan merchadising baru setiap dua atau tiga minggu. Dengan demikian pengunjung selalu disegarkan dengan tampilan baru.
  9. Green Program
    Kesadaran lingkungan juga akan menghinggapi konsumen retail. Edukasi kepedulian lingkungan seperti global warming akan semakin kuat. Akibatnya konsumen juga semakin sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Bagi peretail, isu-isu lingkungan harus bisa ditangkap dengan baik dan diterjemahkan ke dalam program peretail. Green program yang sekarang lagi tren dijalankan adalah pengurangan penggunaan plastik untuk membawa belanjaan. Carrefour misalnya, sudah mulai menjual kantong yang bisa dipakai terus sehingga tidak membuat pencemaran lingkungan oleh pembuangan plastik berlebihan. Beberapa peretail bahkan memberikan poin tambahan jika konsumen membawa kantong sendiri dari rumah.
  10. Channel retail yang semakin kabur
    Jangan kaget kalau nantinya kita sulit mencari channel yang benar-benar spesialis di satu kategori produk. Kecenderungannya setiap peretail ingin mengikat konsumen sehingga ahirnya mereka berusaha menjadikan retailnya sebagai one stop shopping. Selain itu tuntutan konsumen agar retail menghadirkan sesuatu yang berbeda membuat peretail akhirnya justru menambah item produknya dari berbagai macam kategori. Seperti halnya apotik menjual makanan, toko buah menjual produk rumah tangga. Di luar negeri, hipermarket juga berjualan mobil.

Titik Terlemah Bisnis Franchise di Indonesia

Bisnis franchise saat ini tengah menjadi model bisnis paling popular di negeri ini. Laiknya sebuah mode, system bisnis franchisepun banyak diperbincangkan di mana-mana. Seseorang yang baru mendirikan bisnis resto, terlintas untuk segera memfranchisekan bisnisnya. Begitu juga dengan pebisnis bengkel, pijat refleksi, hingga software komputer. Hampir dipastikan, semua sedang berfikir bisnis apa lagi yang dapat difranchisekan. 

Meski hal ini bukan sebuah kekonyolan, tetapi masyarakat pebisnis hendaknya menyadari bahwa sebuah bisnis dapat difranchisekan jika telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Bukan mengikuti kelatahan belaka. Syarat tersebut, menurut   buku  Franchising the Most Practical and Excellent Way of Succeding : Membedah Tawaran Franchise Lokal Indonesia terbitan Gramedia Pustaka Utama tulisan  Bambang N. Rachmadi, franchisee  outlet McD di Indonesia ini,  menyebutkan bahwa franchise merupakan sebuah system bisnis  atau usaha yang telah terstandar secara baku dan teruji kesuksesannya. Lalu system ini dijual lisensinya ke pihak lain dengan imbalan fee kepada pemilik system tersebut.

Ingat, dalam difinisi di atas ada kalimat yang sengaja diberi penekanan, yaitu teruji kesuksesannya. Bambang N Rachmadi bahkan mendefiniskan secara khusus, bahwa sebuah bisnis difranchisekan karena memiliki kinerja  unggul karena didukung oleh sumberdaya berbasis pengetahuan dan orientasi kewirausahaan yang cukup tinggi dengan tata kelola yang baik, yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain dengan melakukan hubungan kontraktual untuk menjalankan bisnis di bawah format bisnisnya dengan imbalan yang disepakati. Uraian di atas jelas memberikan gambaran khusus mengapa sebuah bisnis difranchisekan, yaitu memiliki reputasi sukses, memiliki standar secara baku baik pengelolaan maupun prosedur layanannya.  Lantas apakah para pebisnis cukup memahami syarat-syarat tersebut dan memahami kriterianya?

Menangkap dengan Tenang 

Banyaknya  pameran bisnis, maupun iklan-iklan yang menawarkan bisnis franchise kepada masyarakat harus disikapi dengan upaya edukasi yang optimal terhadap pelaku bisnis franchise, baik kepada franchisor maupun franchisee. Lembaga terkait seperti Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), konsultan bisnis franchise, dan lembaga pendukung lainya, termasuk didalamnya peran pemerintah yang terkait, harus semakin menyadari bahwa bisnis franchise yang hadir tengah masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Masalahnya adalah apakah ada aturan yang kompatibel untuk mengaturnya? Apakah masyarakat pebisnis sudah teredukasi dengan baik, undang-undangnya memadai, serta ada iklim kondusif yang membuat system bisnis franchise dapat berkembang dan tumbuh seperti yang diharapkan. Ibarat menangkap ikan, para pebisnis harus tetap tenang menangkapnya, dengan keadaan sadar dan penuh perhitungan.

Angin Segar 

Kehadiran system bisnis franchise disisi lain telah memberikan angin segar bagi tumbuhnya ekonomi baru karena adanya duplikasi system bisnis yang memungkinkan sebuah system bisnis dapat berkembang secara cepat dalam waktu yang relative pendek. Lihatlah bagaimana McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Wendy’s. Atau brand lokal seperti RM Padang Sederhana, Bakmi Japos, Ayam Bakar Wong Solo,  Es Teler 77, Alfamart, Indomart, dan ratusan merek lokal lainnya yang telah berkembang dan berbiak  menjadi menggurita dengan system bisnis ini dalam waktu singkat ke seluruh tempat.

Banyak pihak berpendapat, kelebihan system bisnis ini memungkinkan seseorang yang ingin berbisnis serupa tidak usah terlalu repot-repot menjalani proses trial and error yang dijalani bertahun-tahun dan dengan biaya yang tidak sedikit. Tetapi pihak lain mengungkapkan argumentasinya bahwa untuk menggunakan system bisnis franchise pada sebuah produk atau merek harus teruji kehandalanya. Seberapa jauh keandalan dan reputasi itu, waktu yang menentukan. Bukan dua, tiga atau lima tahun, yang merupakan waktu-waktu yang pendek   untuk rentang sebuah usaha disebut teruji kehandalannya.

Apapun, kesadaran masyarakat memahami bisnis franchise lebih penting agar sinergi diantara franchisor dan franchise dapat saling menguntungkan dikemudian hari. Para franchisorpun tidak serta merta menginginkan usahanya berbiak dengan mengabaikan syarat untuk menetapkan franchisee yang baik. Syarat tersebut diantaranya adalah menetapkan bahwa franchisee juga harus memiliki kreatifitas  dan inovatif yang didasari semangat kewirausahaan dalam menjalankan bisnisnya,  dan harus tunduk pada kriteria-krieteria yang ditetapkan oleh franchisor.

Tujuannya agar standarisasi merek bisa tetap terjaga. Jangan sampai ada sebuah upaya seseorang yang memfranchisekan bisnisnya tetapi ia sendiri masih harus berjuang bagi keberlangsungan bisnis yang dijalankannya. Jangankan tentang support bisnis, SOP,  atau standarisasi, dan sebagainya, masih banyak pebisnis yang produknya masih belum teruji dan belum memiliki reputasi bisnis tetapi sudah berani menjualnya dengan system franchise. Tentu itu sah-sah saja, dan inilah titik terlemah system bisnis franchise di Indonesia.

Source